SBI_News.com.
PENDIDIKAN pada hakekatnya adalah madrasah, tempat mencerdaskan anak bangsa. Membebaskan generasi dari kebodohan, ketertindasan, kemiskinan menuju bangsa yang mulia dan beradab.
Melihat kondisi saat ini, cita-cita tersebut seperti hanya mimpi yang sulit di wujudkan. Setiap hari tak henti-hentinya kita mendengar berita miris dan memprihatinkan dari dunia pendidikan Indonesia.
Potret Buram Pendidikan Indonesia
Kualitas pendidikan di Indonesia mempunyai reputasi buruk di mata dunia. Hasil survei empat lembaga internasional menyebutkan, pendidikan Indonesia berada pada rangking bawah. Organization for Economic and Development (OECD) menempatkan Indonesia di urutan ke 64 dari 65 negara. The Learning Curve menempatkan Indonesia pada posisi terakhir dari 40 negara. Sementara itu, hasil survei TIMS and Pirls menempatkan Indonesia di posisi 40 dari 42 negara. Sedangkan World Education Forum di bawah naungan PBB menempatkan Indonesia di posisi 69 dari 76 negara. World Literacy meranking Indonesia di urutan 60 dari 61 negara.
Tidak sampai di situ, pendidikan yang seharusnya mencetak generasi unggul, justru mencetak pengangguran. Berdasarkan survei terakhir yang dilakukan oleh BPS tahun 2016, menunjukkan bahwa pengangguran untuk lulusan S1 pada Februari 2015 menjadi 5,34% dibanding Februari tahun sebelumnya yang hanya 4,31%. Begitu juga lulusan diploma mengalami peningkatan pengangguran dari 5,87% menjadi 7,49%. Serta pengangguran lulusan SMK yang bertambah dari 7,21% menjadi 9,05%. Dari data tersebut lantas perlu kita pertanyakan, apa bekal yang diberikan pendidikan kepada para lulusan sehingga sampai menganggur?
Tentang siswa putus sekolah, laporan terbaru OECD, Education at Glance 2015, menyebutkan angka anak putus sekolah di Indonesia menempati urutan nomor dua terbanyak di dunia. Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pendidikan yang rendah dan mahalnya biaya pendidikan menjadi faktor penyebab siswa putus sekolah yang sering terjadi.
Produk dunia pendidikan yang syarat akan degradasi moral menambah deretan protret buram pendidikan Indonesia. Mulai hal ringan seperti mencotek saat ujian, hingga tawuran, seks bebas dan narkoba menghantui pelajar kita. Kondisi yang tak kalah memprihatinkan juga terjadi pada kalangan pendidiknya. Rendahnya kompetensi guru, hingga kasus yang menimpa guru dan dosen. Sebut saja kasus guru mencabuli anak didiknya, dosen memperkosa mahasiswanya. Berita terbaru dari kampus UMSU, dimana seorang mahasiswa tega membunuh dosennya. Kasus tersebut makin mencoreng dunia pendidikan ditengah peringatan Hari Pendidikan Nasional.
Ketika Pendidikan Dalam Cengkraman Kapitalis
Kondisi di atas tidak bisa dilepaskan dari cengkeraman ideologi Kapitalisme yang semakin menguat di Indonesia. Cengkeraman Kapitalisme telah mengakar dan menjalar ke dalam berbagai lini kehidupan termasuk dalam dunia pendidikan. Cengkraman kapitalisme terhadap dunia pendidikan jelas membawa dampak besar pada dunia pendidikan.
Pertama, ancaman komersialisasi pada bidang pendidikan sangat dirasakan di tingkat perguruan tinggi. Berawal dari perjanjian GATS (General Agreement of Trade in Service) yang dibentuk oleh WTO, dimana setiap negara anggotanya wajib membuka sektor-sektor domestiknya untuk diliberalisasikan. Indonesia termasuk di dalamnya, dan sektor pendidikan adalah salah satu bidang yang diliberalisasikan. Sampai saat ini masih kita rasakan dampak dari perjanjian tersebut.
Di Indonesia, lahirlah UU Sisdiknas tahun 2002 yang mensyaratkan pendidikan tinggi berbadan hukum, hingga UU Pendidikan Tinggi tahun 2012 yang disinyalir berbau liberalisasi dan privatisasi. Perguruan Tinggi Indonesia dikhawatirkan akan mengkomersialisasikan pendidikan Indonesia. Alhasil biaya pendidikan menjadi mahal. Setelah Perguruan Tinggi berubah statusnya menjadi PT BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara) ancaman komersialisasi menjadi kenyataan. Peran negara dikerdilkan dan lebih diserahkan kepada swasta atau perguruan tinggi masing-masing. Pada masalah pendanaan, mau tidak mau perguruan tinggi harus banting tulang mengumpulkan dana demi jalannya roda pendidikan. Tidak heran jika sekarang kita melihat universitas banyak membangun usaha-usaha komersil di sekitar kampusnya.
Bahkan kita jumpai perguruan tinggi sudah mulai berani menaikkan biaya pendidikan dan membebankannya kepada mahasiswa. Lagi-lagi masyarakat dirugikan, terutama golongan ekonomi lemah. Sebuah keharusan jika biaya pendidikan memang harus mahal, demi mendapatkan pendidikan berkualitas. Namun, tidak seharusnya mahalnya biaya pendidikan dibebankan kepada rakyat.
Kedua, ancaman sekulerisasi pendidikan. Hal ini sangat kita rasakan dengan adanya dikotomi atau pemisahan antara pendidikan umum dan pendidikan agama baik secara kelembagaan maupun contain muatan pembelajaran. Mata pelajaran agama hanya diberikan porsi yang sedikit dibandingkan mata pelajaran umum. Pendidikan agama yang diajarkan juga terbatas hanya pada masalah ibadah yang sifatnya vertikal, sedangkan pada tataran horizontal atau muamalah tidak disinggung. Tentunya kondisi ini tidak terlepas dari Ideologi kapitalisme itu sendiri yang berakidah sekuler. Sekulerisme menekankan pemisahan antara agama dengan urusan kehidupan manusia. Pandangan hidup tesebut telah menginternal dalam dunia pendidikan kita. Wajar jika melahirkan generasi bermoral rendah, materialis, pragmatis, liberalis dan hedonis.
Ketiga, makin menguatnya intervensi asing terhadap pendidikan. Sebenarnya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan tidak lepas dari intervesi lembaga asing seperti IMF dan World Bank yang bertujuan untuk meliberalisasikan sektor pendidikan Indonesia. Adanya pemberikan pinjaman, beasiswa, hibah, menanamkan mahasiswa asing di PT-BHMN serta melalui berbagai penelitian, secara tidak langsung merupakan bagian dari intervensi asing yang dikemas sedemikian rupa, hingga terlihat akan menguntungkan bagi Indonesia. Berbagai pinjaman sengaja dikucurkan agar kebijakan perguruan tinggi tunduk di bawah tekanan dan kemauan asing. Penguasaan asing terhadap perguruan tinggi menjadi lebih mudah dilakukan.
Refleksi Hardiknas Sebagai Momentum Perubahan Sistem Pendidikan
Hari Pendidikan Nasional seharusnya kita jadikan momentum untuk merubah sistem pendidikan Indonesia menjadi sistem yang lebih mulia dan memuliakan. Apabila kita mau belajar pada masa lalu. Sejarah telah menorehkan tinta emas di bidang pendidikan. Pendidikan pernah mengalami kejayaan di masa kegemilangan Islam. Pada masa itu, sistem pendidikan mampu mencetak generasi unggul, ilmuwan sekaligus ulama, pendidikan berkualitas yang murah, serta kesejahteraan guru terjamin. Semua itu dapat terwujud karena masyarakat Islam mempunyai paradigma bahwa menuntut ilmu adalah ibadah. Ilmu adalah saudara kembar daripada iman.
Selain itu Negara senantiasa memberikan stimulus positif dalam perkembangan ilmu. Mengapresiasi setiap penemuan atau ilmu baru, biaya pendidikan murah bahkan gratis. Pendidikan yang menekankan pada pembentukan kepribadian Islam, tsaqofah Islam serta pemberian ilmu kehidupan akan melahirkan produk generasi bermoral namun juga cerdas. Sudah saatnya kita melirik sistem pendidikan Islam dengan disokong oleh sistem lainnya politik, ekonomi, hukum yang sesuai dengan Islam sudah terbukti keberhasilannya. Janganlah kita menjadi manusia yang ahistoris atau lupa akan sejarah.
No comments:
Post a Comment