Sbi_yosh.com.pembaca berita yosh, persoalan hutang bukan persoalan yang main-main loh. Ketika seseorang meninggal dunia, urusan hutang ini bisa berbuntut panjang. Maka, kadang ada yang menganggap bahwa mencatat hutang adalah sesuatu yang harus dilakukan. Benarkah?
Wah,repot dong kalau cuma mau pinjem buat bayar ojek di depan kampus lima ribu perak kudu dicatat juga? Jadi penuh dong note booknya. Simak ulasan yosh berikut ini, kawan.
Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Orang yang mati dalam keadaan masih membawa hutang yang belum dilunasi, maka membayarnya akan diambil dari pahala kebaikannya. Itu yang terjadi di hari kiamat karena di sana tidak ada lagi dinar dan dirham untuk melunasi hutang yang dipunyai seseorang.
Wah, gawat banget dong kalau ternyata pahala kebaikan kita nggak banyak-banyak amat.
Bukan berarti kita jadi nggak boleh berhutang juga loh, kawan. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun terkadang berhutang dan orang yang hendak berhutang hukumnya mubah. Tetapi, kita kudu bersikap hati-hati terhadap apa yang namanya hutang!
Soal mencatat hutang Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya." (QS. Al-Baqarah: 282).
Akan tetapi, ulama berbeda pendapat mengenai hukum wajib atau tidaknya mencatat hutang ini, kawan.
Madzhab Dzahiriyah berpendapat bahwa ayat tersebut menjadi dalil wajibnya menulis transaksi hutang piutang yang pelunasannya tertunda.
Ibnu Hazm adz-Dzahiri mengatakan, "Jika hutang ditangguhkan pelunasannya, maka wajib bagi keduanya untuk menuliskannya dan mencari saksi dua orang atau lebih atau seorang lelaki dengan dua wanita yang adil, atau lebih. Jika dia dalam safar, dan tidak menemukan orang yang mencatat, jika mau, orang yang berhutang bisa menggadaikan sesuatu." (al-Muhalla, 6/351)
Mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, dan Hambali, berpendapat bahwa mencatat transaksi hutang dan menghadirkan saksi ketika transaksi, hukumnya tidak wajib.
Perintah dalam QS. Al Baqarah ayat 282 adalah bimbingan agar manusia lebih berhati-hati dan lebih yakin dalam melakukan muamalah dengan orang lain, terutama masalah hutang. Sehingga statusnya bukan perintah yang wajib dikerjakan.
Imam as-Syafii menjelaskan dengan bagus mengenai tafsir ayat tersebut. Beliau menyebutkan, ada dua alasan, mengapa perintah dalam ayat tersebut bukan perintah wajib.
Di ayat berikutnya (283), Allah SWT perintahkan ketika seseorang tidak menemukan penulis, agar menggadaikan barangnya.
Di lanjutan ayat, Allah bolehkan untuk tidak menggadaikan barang, selama masing-masing yakin bisa saling menjaga amanah.
Ini menunjukkan bahwa perintah di ayat sebelumnya, memberi kesimpulan anjuran dan bukan kewajiban yang ketika ditinggalkan, bernilai maksiat. (Ahkam al-Quran, 2/127).
Ada pula ulama yang berpendapat bahwa bila harta yang dihutangkan adalah milik sendiri maka yang afdhal (sunnah) adalah mencatatnya.
Boleh aja nggak mencatat hutang, kawan, apalagi kalau hutang tersebut dalam hal-hal kecil atau secara adat-kebiasaan orang-orang tidak terlalu serius di dalamnya.
Kalau harta yang dihutangkan milik orang lain, misalnya karena mengelola harta anak yatim dan karena suatu hal yang membawa maslahah ia menghutangkannya kepada orang lain, maka ia wajib mencatatnya.
Mengelola harta anak yatim adalah bentuk penjagaan terhadap harta mereka. Seperti firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa.” (QS. Al An’am: 154).
Imam as-Sa’di dalam tafsirnya mengatakan, "Perintah untuk mencatat setiap akad hutang piutang, bisa hukumnya wajib, dan bisa anjuran. Mengingat besarnya kebutuhan untuk mencatatnya. Karena jika tanpa dicatat, rentan kesalahan, lupa, peselisihan, dan pertikaian, yang itu kejelekan yang besar." (Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 118).
So, hukum asal mencatat transaksi hutang sifatnya adalah anjuran. Tapi, kalau dipastikan akan menimbulkan sengketa atau pertikaian tanpa pencatatan, maka mencatat transaksi hutang atau menghadirkan saksi hukumnya menjadi wajib.
Allahu a'lam.
No comments:
Post a Comment