Monday, May 2, 2016
liku liku laki laki tak laku laku
Penulis: Nurul Badriah
Sbi_yosh.com.Di gazebo kampus Universitas Lika-Liku Kehidupan (disingkat Unilik), seorang laki-laki duduk termenung. Salah satu kakinya ia tekukkan dan dengan alas kedua punggung tangannya ia meletakan dagu di atas lututnya. Garis wajahnya tampak begitu letih. Wajahnya pun tampak lebih tua dibandingkan mahasiswa kebanyakan. Maklum, tahun ini adalah tahun keenam ia berada di kampus Unilik. Semua teman angkatannya sudah lulus, bahkan ada yang sudah punya 4 anak. Ia masih punya jatah satu tahun di kampus yang sangat ia cintai itu. Namun, jika menurut kehendaknya, ia tak ingin meninggalkan kampus yang penuh kenangan indah itu.
“Bang Rio, lagi ngapain? Ye, lagi ngelamun apaan, tuch?” Wiwin, adik tingkat di program studinya membuyarkan lamunan laki-laki itu.
“Eh, adek. Lagi ngelamunin adek.”
“Mulai dech. Wiwin tuh ga suka digombalin, tau, gak?”
“Meskipun Wiwin gak suka, Wiwin tetap jadi inspirasi Abang.”
“Halah, Abang tuh gak berhenti-berhenti gombalnya, tapi gak dapet-dapet pacar.”
“Eits, gini-gini Abang gak mau pacaran. Abang mau ta’aruf aja sama ukhti-ukhti yang pake jilbab lebar itu.”
“Jiaah, parah. Gimana mau ta’aruf sama ukhti-ukhti, Abang aja gak jadi akhi-akhi.”
“Wiwin lari saja sana. Abang lagi mau sendiri.”
“Iihhh, bener-bener lagi galau kayaknya, nih?”
“GALAU = God Always Listening Always Understanding.”
“Eh, tumben Abang beres. Apa udah mau jadi akhi-akhi, ya?”
“Pergi ga luuu!”
“Takuuuuut, Bang Rio udah mau ngeluarin taringnya.” Wiwin melet ke arah Rio dan berlari menuju mushala yang tak jauh dari gazebo.
Rio cuek saja. Anak kecil, pikirnya. Tapi, sejenak ia tercenung dengan kata-kata Wiwin. Mungkin Wiwin benar juga. Ia harus berubah. Tapi, apa tidak terlambat? Ia sudah mahasiswa semester banyak. Ia menghela nafas panjang.
“Bang Rio, ngapain sendirian di situ?” Kini Teti, anak program studi Sejarah menyapanya.
“Lagi istirahat, Ti, abis jalan jauh tadi, sesat pula.”
“Emang jalan ke mana, Bang? Kok bisa sesat?”
“Jalan ke hatimu.”
“Yaelah, lurus aja Bang kalo jalan ke hati Teti.”
“Iya, tapi tadi tuh banyak candi-candi, terus banyak manusia purba juga, jadi sulit nemuin hati Teti.”
“Wah, bau-baunya gak enak, nih, ujungnya kalo udah ngomong gitu. Teti duluan aja dech, Bang. Daaa....” Potong Teti. Kali ini, ia tak perlu mengusir seperti Wiwin. Teti sudah lari duluan.
Sepertinya belum lama Rio duduk di gazebo ini. Sudah ada penggangu-pengganggu yang membuat kepalanya puyeng. Dari kejauhan ia melihat seorang gadis mungil berjilbab biru muda menuju mushola. Sepertinya ia memang harus segera lari dari tempat ini. Gadis itu pasti akan lebih mengacaukan harinya.
***
“Sarah, kamu suka ke taman, ya?”
“Kok tahu, Bang?”
“Karena kamu udah bikin hati Abang berbunga-bunga.”
“Wah, Abang ada-ada aja, Sarah jadi malu.”
“Eh, Sarah. Kok hati Abang begetar, ya?”
“Karena deket Sarah, kali, Bang?”
“Eh, gak ding, ternyata HP Abang yang bergetar.”
“Hahaha… Abang bikin suasana ancur aja. Udah bagus-bagus dialognya. Masak ujungnya gitu?” Sarah, gadis mungil itu tertawa lepas mendengar akhir dialognya dengan Rio. Rio memang pasangan gombal yang pas untuknya.
“Abang udah mau ke jurusan, Sar, mau nemui Bu Yati. Mau bimbingan.”
“Bimbingan apa, Bang? Skripsi?”
“Bukan, bimbingan biar dapet hatimu.”
“Jiaah...!”
“Abang pegi dulu, ya?”
“Hati-hati, Abang.”
Di jurusan Budaya dan Seni, Program Studi Seni Lukis. Rio duduk berhadapan dengan Bu Yati. Dosen pembimbing skripsinya.
“Rio, kamu mau sampai kapan bertahan di kampus ini?”
“Sampai hati ibu luluh.”
“Ckckck, apa-apaan kamu, Yo? Kamu ini, ibu dapet laporan. Kamu sering ngegombalin adik-adik tingkat kamu, ya?”
“Galau, Bu. Skripsi ga, kelar-kelar, istri gak dapet-dapet, ibu gak acc-acc Bab I saya, hati ibu gak luluh-luluh liat wajah saya,”
“Masya Allah, baru kali ini, Nak, ibu dapet mahasiswa bimbingan yang rada-rada aneh.”
“Bukan aneh, Bu, tapi unik.”
“Ya, terserah kamu lah. Pokoknya besok apa yang ibu coret hari ini sudah diperbaiki. Ibu kebetulan besok ada di kampus.”
“Cepet banget, Bu?”
“Kamu ini, kemarin-kemarin udah dikasih kesempatan utnuk nyantai, sekarang gak ada lagi kesempatan untuk nyantai.”
“Iya, ampun, Bu, besok saya ngadep lagi.”
“Ibu tunggu besok di sini.” Tegas Bu Yati, dosen pembimbing Rio yang super duper sabar itu.
***
Rio keluar ruang dosen dengan wajah sumringah. Bagaimana tidak, Bu Yati akhirnya meng-acc Bab I skripsinya! Dunia rasanya dipenuhi bunga-bunga, mawar, melati, semuanya indah. Loh?! Kemudian ia layaknya aktor India yang bernyanyi serta menari di tengah-tengah taman, memutari tiang listrik, dan hujan-hujanan. Ups! Kali ini kok benar-benar basah?
“Eh, sialan lo, Ko! Mengacaukan suasana hati gue aja!” Umpat Rio yang mendapati Koko, teman yang senasib dengannya itu menyemprotnya dengan air minum mineral.
“Hahaha... lo juga sich, jalan sambil senyum-senyum sendiri, gue kira lo kesambet tadi.”
“Enak aja, lo, gini-gini gue rajin sholat, rajin ngaji, rajin...”
“Bohong lu! Terus apa hubungannya?” Potong Koko.
“Pacaran!” Rio ngedumel dan meninggalkan Koko kebingungan sambil garuk-garuk dada.
Rio melangkahkan kaki menuju gazebo depan mushala. Sejak gazebo ini dibangun, ia merasa jiwanya telah tertaut di sini. Sudah banyak banget cerita tentang lika liku hidupnya di kampus Unilik yang ia tumpahkan di sini. -ukan mencoret-coret. Bukan, tapi ia hanya ngomong dengan tiang gazebo!!! Hari ini ia mau ngomong, bab I udah di acc bu Yati!!! Yeaaah… setelah sekian semester akhirnya ia melewati tantangan di bab I.
***
Wisuda ke 109 Unilik akan dilaksanakan dua bulan lagi. Tapi, ia baru berada di bab III, itu pun sudah bolak-balik ruang dosen 3 kali sehari untuk bimbingan tapi masih belum di-acc.
“Kamu ke perpustakaan pusat, cari skripsi yang mirip-mirip sama punya kamu.” Bu Yati mengakhiri bimbingan ke-tiganya hari ini.
“Iya, Bu.”
Tanpa ba-bi-bu, Rio menuju perpustakaan pusat. Menaiki anak tangga sambil menghitungnya itu sesuatu, ya? Rio tiba-tiba merasa hebat sebab ia sudah tahu jumlah anak tangga perpustakaan pusat. Totalnyaaa... ada 10 anak tangga, saudara-saudari! Di anak tangga terakhir, Rio meloncat dan teriak memasuki pintu perpustakaan sambil mengangkat tangan kanan yang ia kepalkan. “Yeaaaaaah!!!”
Taraaa… kok perpustakaan pusat ada anak-anak yang lagi melingkar? Salah satu di antaranya ada yang menulis di papan tulis. Isinya:
Rapat DPM KM Unilik
Wadaaaaw... Rio salah masuk ruangan, saudara-saudari! Ia malah masuk sekret Dewan Perwakilan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Unilik yang berada tepat di belakang perpustakaan pusat! Apa yang terjadi dengan Rio? Semua mata tertuju padanya dan rapat pun terhenti. Rio mematung dengan satu tangan masih di atas persis patung Liberty.
“Maaf, ada apa, Mas?” Tanya seorang mahasiswa yang tadi menulis di papan tulis. “Ada yang bisa kami bantu?”
Rio menurunkan tangannya pelan-pelan, “Saya, saya mau numpang lewat.” Jawab Rio asal. “Ya, saya mau numpang lewat, saya mau ke perpustakaan pusat, lewat sini bisa?”
“Owh, iya bisa, Mas. Cuma pintunya lebih sering ditutup karena ruangan ini sekret kami. Kenapa gak lewat pintu depan aja, Mas?”
“Gka ada sensasinya, lewat sini lebih oke kayaknya.” Rio asal-asalan.
“Owh, silahkan, Mas. Den, buka pintu samping, mas ini mau lewat.” Perintahnya dengan salah satu di antara mereka yang berada di dekat pintu.
“Permisi, permisi...” Rio membungkuk lewat sambil menenteng sepatu tanpa berdosa di depan orang-orang yang sedang rapat.
Haha... Rio baru tahu, tangga belakang perpustakaan pusat ternyata bukan untuk pintu masuk perpus, melainkan sekretariat salah satu ormawa di kampusnya. Tanpa dosa, ia melenggang menuju ruangan di perpus. Wadawww... ini perpustakaan apa labirin? Ia bahkan tak tahu harus ke kanan atau ke kiri. Terpenting bukan ke depan, soalnya itu pintu keluar.
Dengan insting yang dirasa jitu, akhirnya ia memilih jalur kiri. Jalan entah berapa meter, ia menaiki tangga, dan disana ia menemukan ruangan yang ada bukunya. Dengan percaya diri tingkat tinggi, ia masuk ruangan dan duduk manis depan seorang cewek manis.
Baru lima menit, ia merasakan keanehan, saudara-saudari! Ia tak menemukan skripsi bahkan buku-buku pun tak ada. Hanya sekumpulan tulisan dan sejenis majalah di ruangan ini.
“Mbak, mbak, mau tanya.” Rio memberanikan diri mengajak cewek di depannya bicara.
“Iya, ada apa?”
“Mbak, kalau mau lihat skripsi di mana ya?”
“Owh, ruangan skripsi? Dari pintu masuk Mas ke kiri, terus belok kanan, lurus aja, kemudian belok kiri lagi. Nah, di situ ruangan skripsi.” Busyet! Ini benar-benar labirin. “Bukan mahasiswa sini ya, Mas?”
“Eh, iya... eh, bukan,” Rio gelagapan. Ketahuan ia belum pernah ke perpustakaan pusat. “Makasih, Mbak.” Hancur dah reputasinya di depan cewek manis tadi. Padahal dalam hatinya tadi pengen kenalan, siapa tahu beruntung tuh cewek jatuh hati sama dia. Eh, mimpinya Rio di siang bolong, diaminin aja. Kasihan enam tahun di kampus, gak ada cewek yang nyantol. Bukan karena gak ganteng, sih, tapi emang kurang cakep!
Setelah keliling-keliling, akhirnya ia menemukan ruangan skripsi tersembunyi si sudut paling kiri perpustakaan. Lokasi yang membuatnya ngedumel dalam hati. Setengah jam di ruangan itu, dengan mudah rasa bosan menyergapnya. Berkali-kali mulutnya menganga. Bahkan, ia sempat tertidur di antara rak-rak itu dan terbangun karena tepat di depannya sebuah skripsi jatuh.
Rio kembali, ia menyudahi petualangannya di perpustakaan pusat. Ia menyimpulkan bahwa pekerjaan mencari referensi itu membosankan. Titik. Gak pake koma-koma lagi.
***
Bimbingan kali ini, Bu Yati dengan baik hatinya membelikan empek-empek dari kantin kampus. Eh... tumben-tumbenan, pikir Rio. Yah, mudah-mudahan pertanda baiklah buat Rio.
“Biar kamu semangat bimbingan. Mungkin ibu gak ngasih makan selama ini jadi kamu sedikit lamban.” Ujar Bu yati. Rio mesem-mesem aja.
“Ah, ibu tau aja...”
“Nah, kan, nyambarnya cepat kalo bimbingan dikasih makan!”
“Ibu juga baru ngasih tau sekarang, kalau dari dulu pasti tiap bimbingan saya sms ibu dulu mau pilih makan apa?”
“Alhamdulillah, artinya ibu gak perlu ngeluarin banyak biaya untuk membimbing kamu lagi.”
“Loh, kok?”
“Iya, ini bab terakhir, kan? Kalau ibu acc, selesai skripsimu, tinggal sidang dan bla bla bla…” Dubraakk.. Ibu ini masih perhitungan aja, gerutu Rio dalam hati.
Pempek lenjer, kapal selam, adaan, dan semua jenis pempek terhidang di meja. Sesekali Rio melirik pempek-pempek yang menggoda tangannya untuk meraihnya. Tapi, seolah Bu Yati membaca pikirannya, setiap kali matanya melirik pempek-pempek itu, Bu Yati akan berceloteh, “Fokus, fokus...”
“Oke, final. Kamu sudah boleh sidang. Bab terakhir kamu saya acc.”
“Yeaahhh…!“ Rio kegirangan, tanpa sadar tangannya menyenggol cuka pempek dan tumpah ruah ke kertas-kertas di atas meja. Sepiring pempek pun tak ayal jadi korban ketika tangannya hendak menyelamatkan sang cuka.
Praaakkkk…
Pempek berserakan di lantai. Cuka bergenangan di meja. Kertas-kertas entah berkas apa berubah warna menjadi kecoklatan. Sedetik kemudian Rio dan Bu Yati terdiam.
“Rioooooooo……!!!” Bu Yati akhirnya histeris dan tanpa sadar tangannya menjewer telinga Rio.
“Maaf, maaf, Bbu.. gak sengaja, Bu,” Rio meringis.
Rio menelan ludah, hilang sudah harapannya makan pempek hari ini. Ia mesti rela membersihkan bekas cuka dan pempek yang berserakan di lantai.
“Bang Rio sekarang udah kerja di sini, ya?” Seorang mahasiswi dengan polosnya bertanya ketika melihat Rio membersihkan lantai ruang dosen.
“Sembarangan! Lo kira gue OB, heh??? Gue lempar sama pempek ini, mau?”
“Eh, bang Rio kok mendadak galak, mau dibantuin, Bang?”
“Wah, kalo itu boleh dech, nih gantiin abang beresin lantai.”
“Gak, maksudnya bantuin doa, Bang.”
“Pergi gak loooooo!”
“Haha.. selamat bekerja, bang Rio...!”
Hari ini memang melelahkan. Setelah semalaman begadang menyelesaikan skripsi, paginya bimbingan dan ditutup bersih-bersih ruang dosen plus bonus disemprot Bu Yati karena berkas-berkasnya turut terkena tumpahan cuka pempek.
***
Gue cuma pengen wisuda dengan bahagia...
Tulis Rio di status Facebook-nya. Dalam hitungan menit saja komentar demi komentar muncul.
Ema Lisnawati Anak Bunda Emang: sekarang gak bahagia, Bang? Kan udah sidang?
Giovanni The Rummi: Emang lu bisa bahagia juga, Yo?
Aristiawan: Udah kagak usah pikirin yang gak ngebahagiain, enjoy aje, boy!
Winda Cuakep: Tumben bang ngegalau? :D
Es Cendol Tanto: Itu derita Lu Yo, menderita mulu! Xixixi.
Beragam komentar muncul dan Rio enggan menanggapi. Dia pun merasa geli sendiri dengan statusnya. Ini kali pertama ia bikin status yang sedikit galau. Tapi, pada akhirnya ia menanggapi obrolan panjang teman-teman Facebook-nya dengan komentar singkat: Gue lagi nyari pendamping wisuda plus pendamping hidup, boy, capek ngejomblo melulu. :D
***
Sore itu, seminggu menjelang wisuda. Rio duduk di gazebo depan mushala, melepas lelah setelah mondar-mandir mengurus semua urusan untuk wisuda.
“Bang Rioooo... selamat yaaa! Traktirannya kapan?” Sarah menghampirinya dengan sumringah dan senyum lebar dua centi kanan, dua centi kiri.
“Makan mulu, lu! Gemuk dikit ngeluh terus nangis-nangis pengen diet.”
“Hahaha... gak gitu juga kali, Bang.. Btw ngapain abang di sini?”
“Gak ngapa-ngapain, istirahat aja abis muter-muter.”
“Muter-muter hati Sarah ya, Bang?”
“Gak. Muter-muter gerobak bakso! Ganggu aja nih anak. Pergi sana!”
“Eh, abang lagi merhatiin ukhti-ukhti yang di mushala itu ya? Cieee, bang Rio, cieee...”
“Kepo lu!”
“Ngaku aja, Bang. Cieee…”
“Pregi, lu, gerah gue!”
“Bang, kalo suka sama ukhti-ukhti, abang mesti jadi akhi-akhi dulu. Gimana si ukhti mau sama abang, abang aja kayak gini? Lihat tuh penampilan abang, acak-acakan gitu. Jangan-jangan gak mandi dua hari lagi?”
“Sembaranga,n lu. Gini-gini gue mandi tiga kali sehari!”
“Bohong! Dosa lho, Bang! Nambah si ukhti gak mau.”
“Udahan, pergi sana, lu.”
“Hahaha... Bang, laki-laki yang baik itu untuk wanita yang baik, begitu pula sebaliknya.” Sarah beranjak dan meninggalkan Rio tercenung di gazebo. Mungkin ada benarnya perkataan Sarah, bisa jadi karena itu juga ia tak laku-laku padahal ia selalu bermimpi mendapatkan pendamping hidup seorang muslimah yang baik. Atau karena jauh dari Allah juga skripsinya sekian semester tak laku-laku alias tak di-acc-acc oleh dosen pembimbingnya, pikir Rio.
***
Rio mengambil sajadah di lemarinya. Entah berapa lama sajadah ini tak ia pakai. Sehelai sarung dan kopiah pemberian ibunya pun telah lama sekali tak ia gunakan. Senja ini, jelang Maghrib, ia mengguyuri tubuhnya dengan air dan berwudhu.
Azan Maghrib berkumandang dan Rio melangkahkan kaki menuju masjid yang tak begitu jauh dari kostannya. Dengan senyum sumringah, ia masuk ke masjid tanpa menghiraukan teriakan seorang laki-laki di belakangnya. Ia masuk pintu masjid dan langkahnya terhenti.“Kok isinya cewek semua?”
“Maaf, Mas, pintu cowoknya di sana. Mari...” Dari belakang suara seorang laki-laki mengejutkannya. Ia melangkah, masih ia dengar cekikikan dari belakang. Mungkin Allah menghukumku atas kelalaianku selama ini, bisa jadi ini belum seberapa, pikir Rio.
Hari ini sujud pertamanya setelah sekian sujud ia tinggalkan. Sebuah janji ia ikrarkan kepada dirinya sendiri, ia akan menjadi muslim yang lebih taat lagi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment